Site icon

Kontroversi Kepala Sekolah Dinonaktifkan karena Usulan Baju Lebaran di Purwakarta

daripinggir.com – Di Sawah Kulon, sebuah kampung tenang di Purwakarta, hari pertama sekolah setelah libur Lebaran berubah jadi gempar. Seorang kepala SD Negeri mendadak diberhentikan dari jabatannya. Bukan karena korupsi. Bukan karena pelecehan. Tapi karena satu hal: usulan pakaian Lebaran untuk murid.

Usulan, bukan kebijakan.
Dan bahkan sudah dibatalkan.

“Ide itu sudah saya cabut setelah ada masukan dari orang tua murid,” ujar sang kepala sekolah, dengan nada tenang. Baginya, itu hanya sebuah niat kecil untuk menghadirkan suasana baru—semacam pendekatan kultural di hari pertama sekolah. Tapi niat itu berbuntut panjang.

Tanggal 8 April 2025, Kepala Dinas Pendidikan Purwakarta, Purwanto—atau yang akrab disapa Kang Ipung—mengumumkan bahwa sang kepala sekolah dinonaktifkan. Alasannya? Perintah langsung dari Bupati Purwakarta, Om Zein.

“Yang bersangkutan sudah kami nonaktifkan. Untuk sementara waktu dijabat oleh pelaksana tugas,” ujar Kang Ipung saat mendampingi kunjungan bupati ke Kecamatan Maniis.

Publik pun bertanya:
Apakah semua bisa semudah itu?

Ketika Hukum Ditarik dari Pakaian

Aktivis muda Andry Fernandez angkat suara. Menurutnya, keputusan tersebut bukan hanya janggal, tapi berbahaya.

“Kalau bupati bisa seenaknya perintahkan pemberhentian kepala sekolah, lalu apa gunanya Dinas Pendidikan?” katanya, lantang.

Permendiknas No. 28 Tahun 2010 dan Permendikbud No. 6 Tahun 2018 secara jelas mengatur: kepala sekolah hanya bisa diberhentikan karena:

Tapi dalam kasus ini, tak ada satu pun syarat itu terpenuhi. Tak ada surat. Tak ada evaluasi. Tak ada forum. Yang ada hanya arahan, dan eksekusi.

“Kalau Dinas hanya jadi tukang stempel perintah politik, maka pendidikan kita ambruk, bukan cuma secara prosedural tapi juga moral,” tegas Andry.

Sekolah Harus Jadi Ruang Aman

Intervensi politik di sekolah bukan hal baru. Tapi setiap kali itu terjadi, pendidikan kehilangan integritasnya sedikit demi sedikit.

“Guru digaji kecil, dibebani banyak. Tapi bisa diruntuhkan hanya karena miskomunikasi yang dibesar-besarkan,” lanjut Andry.

Sekolah bukan panggung kekuasaan. Kepala sekolah bukan bidak catur politik. Jika niat baik bisa dianggap salah hanya karena tak populer di mata penguasa, lalu di mana tempat berpijak para pendidik?

Dari Pinggir Sawah Kulon

Kasus ini, mungkin akan cepat tenggelam. Tapi ingatan kita tak boleh ikut hilang. Kita butuh pejabat yang paham ruang pendidikan, bukan hanya mendengar keluhan di jalan lalu menyabet kepala.

Kita butuh birokrasi yang berani bilang:
“Tunggu dulu, mari kita cek dulu.”
Bukan:
“Siap, laksanakan!”

Pendidikan adalah ladang masa depan. Jangan biarkan ia jadi korban sensasi politik jangka pendek.

📝 Catatan ini disusun dari sumber di lapangan dan pernyataan resmi. Segala kemiripan dengan tokoh atau institusi tertentu dimaksudkan sebagai refleksi kritis atas praktik birokrasi dan etika kekuasaan di wilayah pendidikan kita hari ini.

Penulis & Editor: Orang yang sama, beda jam ngopinya.

Exit mobile version