Site icon

Rumah Pejabat di Hotel: Ketika Akses Kekuasaan Lewat Karcis Parkir

daripinggir.com – Malam itu, handphone saya berdering. Seorang teman mengajak saya ikut ke rumah seorang pejabat.

“Ayo, kita diskusi. Katanya bisa ngobrol langsung,” katanya.

Sebagai orang yang percaya pada ruang partisipasi, saya mengangguk. Berangkat.

Alamatnya? “Hotel.”

Hotel yang dimaksud bukan hotel sembarangan. Ini hotel bintang empat, yang sering dipakai untuk acara bimtek, seminar, dan jumpa pers. Dari luar, hanya terlihat ruko-ruko tertata rapi, dengan pintu masuk berkarcis di pinggirnya.

Sesampainya di lokasi, saya ambil karcis—lalu parkir. Untuk ketemu pejabat, saya harus parkir di hotel. Akses kekuasaan kok lewat parkiran hotel? Rasanya ganjil: mau ngobrol soal kebijakan publik, tapi harus setor dulu ke properti swasta.

Teman saya menunjuk jalan kecil di sisi hotel. Kami menyusuri jalan beraspal sempit, agak menurun. Di depan ada pos Satpol PP. Ada buku tamu. Ada portal. Terlihat resmi, tapi terasa bukan milik publik.

Kami ditanya nama, lalu petugas melapor. Pagar besi dibuka. Di baliknya ada villa dua lantai, dengan kebun, aula, dan beberapa kendaraan terparkir. Konon, di situlah rumah pejabat yang tinggal di hotel itu berada—tepatnya di area belakang hotel tersebut.

Saya terdiam.

Bukan karena vila itu jelek. Tapi karena tempat tinggal seorang pejabat publik justru menyempil di area hotel milik swasta. Bukan rumah dinas. Bukan juga rumah rakyat. Tapi rumah kekuasaan yang menumpang.

Desas-desusnya, pemilik hotel itu adalah salah satu pemodal besar dalam Pilkada lalu. Tapi ini tetap desas-desus. Yang pasti: lokasi rumah pejabat di hotel ini bikin kita bertanya—kekuasaan sekarang berdiri di mana?

Kita sering dengar jargon “berdiri di atas kaki sendiri”. Tapi kalau rumah pejabat saja numpang di hotel, bagaimana kita percaya langkahnya punya arah?

Saya datang malam itu untuk diskusi. Tapi pulang dengan perasaan janggal. Karena kadang, dari jalan kecil samping hotel, kita bisa melihat gambaran besar tentang kekuasaan yang terlalu sering nebeng, dan terlalu jarang benar-benar berpihak.

📝 Catatan ini ditulis berdasarkan pengalaman pribadi. Segala kemiripan dengan tokoh atau tempat tertentu bukan bentuk tuduhan, melainkan refleksi atas ruang kekuasaan yang saya saksikan langsung.

Penulis: Kang Pinggir

Editor: K Pinggir

Exit mobile version