Republik Pinggir

Peta Kekuasaan Republik Pinggir: Siapa Ngapain dan Kenapa Gak Jelas

Pemerintahan

Pak Bupati Sinyal Lemah

Baru muncul kalau sudah viral.
Slogan: “Kita akan pelajari dulu.”
Ia lebih sering jadi komentator belakangan, bukan pengambil kebijakan di awal. Segala masalah dianggap perlu “kajian mendalam”, meski sudah ada ribuan komentar netizen. Hadir di acara seremonial, tapi menghilang dari panggung saat rakyat butuh klarifikasi.

Wakil Bupati Si Konten Kreator

Rajin sidak, jago TikTok, minim kebijakan.
Slogan: “Saya hadir untuk konten… eh, untuk rakyat!”
Lebih dikenal karena gaya dan filter media sosial ketimbang kebijakan nyata. Ia suka “turun tangan” saat kamera menyala, tapi ketika APBD dibahas, namanya tak disebut-sebut.

Jajaran Kadis: Ahli Lempar Bola dan Bahasa Birokrasi

Di balik meja dinas yang rapi, para kepala dinas tampil seperti teknokrat sejati. Tapi saat masalah muncul, mereka lihai menghindar. Dengan jargon-jargon teknis dan sikap “kami hanya pelaksana”, mereka pandai bermain aman.

Slogan umum mereka:
🗣️ “Akan kami pelajari dulu.”
🗣️ “Kami tunggu arahan.”
🗣️ “Itu di luar kewenangan kami.”

Mereka bisa bicara panjang soal struktur, regulasi, dan SOP, tapi rakyat tetap menunggu hasil yang tak kunjung nyata. Dalam sistem yang kabur, kadis lebih mirip juru bicara ketidakpastian daripada pemecah masalah.

Peta Kekuasaan Republik Pinggir
Peta Kekuasaan Republik Pinggir

Kekuatan di Luar Pemerintah

LSM Lembaga Serba Mengerti

Bisa demo, bisa damai.
Slogan: “Kami wakili rakyat… yang bayar operasional.”
Datang paling awal saat kasus belum viral, tapi juga paling cepat minta “solusi damai” kalau ada amplop cair. Fleksibel seperti karet, kadang terasa aktivis, kadang terasa makelar kasus.

Media Rasa EO (Event Organizer)

Datang kalau ada snack dan bensin.
Slogan: “Kami netral, asal dibiayai netral juga.”
Jurnalisme digantikan undangan press release dan konsumsi. Kritik hilang, yang penting fotonya estetik. Fakta sering dikalahkan oleh jadwal event.

Tim Sukses Semua Musim

Nongol tiap tahun politik, hilang di musim hujan.
Slogan: “Kami relawan murni. Murni cari proyek.”
Ketika jalan dibangun, klaimnya: “Itu perjuangan kami di balik layar.” Ketika jalan rusak? “Itu urusan dinas, bukan kami.” Karirnya musiman, tapi jaringannya abadi.

Warga dan Korban Sistem

Warga Sadar Tapi Lelah

Tahu semua busuk, tapi bingung mau ngadu ke siapa.
Slogan: “Udah biasa, asal gak parah-parah amat.”
Sadar bahwa ada yang salah, tapi sudah terlalu sering kecewa. Mereka ikut program karena terpaksa, bukan karena percaya. Dipakai sebagai latar saat pejabat turun, jarang diajak bicara sungguhan.

Kades Jarang Ngantor

Jadi tumbal kalau anggaran bocor, tapi gak pernah diajak rapat besar.
Slogan: “Kami hanya pelaksana teknis.”
Punya stempel, tapi tidak punya kekuasaan. Jadi perpanjangan tangan program dari atas, tapi diminta tanggung jawab penuh saat program gagal.

Korban Skema 86

Dari pemilik usaha kecil sampai orang tua korban LPK fiktif.
Slogan: “Sudah lapor, tapi katanya bukan wewenang.”
Mereka berani berharap, tapi akhirnya hanya menerima janji. Dilimpahkan dari satu instansi ke instansi lain, seperti bola panas yang tak pernah mendarat di solusi.

Catatan dari Pinggir:
Di Republik Pinggir, semua pihak bekerja keras—untuk citra, bukan kinerja. Sistemnya rapi, tapi hanya untuk melestarikan kebingungan.

Kalau terasa mirip dunia nyata, mungkin karena kenyataan sudah lama nyasar ke dunia fiksi.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *